Previous
Next

Kamis, 03 September 2015

Syi’ah dan Kemaksuman Para Imam

Syi’ah dan Kemaksuman Para Imam


SYI’AH DAN KEMAKSUMAN PARA IMAM
 
Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Kaum Syiah Rafidhah meyakini bahwa 12 imam mereka memiliki sifat ishmah (maksum). Menurut mereka, maksum adalah tidak pernah berbuat dosa besar ataupun kecil, bahkan tidak pernah melakukan kesalahan sama sekali, baik ucapan maupun perbuatan. Disebutkan oleh al-Majlisi dalamBiharul Anwar, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Syiah Imamiyah (Rafidhah, -pen.) bersepakat atas kemaksuman para imam—‘alaihimus salam—dari dosa-dosa, yang kecil dan yang besar. Mereka sama sekali tidak memiliki dosa, baik secara sengaja, lupa, keliru dalam penakwilan, maupun Allah Subhanahu wata’ala yang menjadikannya lalai.” (Biharul Anwar, 25/211, Ushul Madzhab asy-Syiah, 775)

Demikian pula yang ditegaskan oleh seorang tokoh Syiah yang hidup di abad keempat, Ibnu Babawaih. Ia berkata, “Agama Syiah Imamiyah menyatakan, ‘Keyakinan kami tentang para imam, mereka adalah maksum, disucikan dari setiap kotoran, tidak pernah berbuat dosa kecil ataupun besar, dan tidak pernah bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam hal yang Allah Subhanahu wata’ala perintahkan, serta senantiasa mengerjakan apa saja yang diperintahkan. Siapa yang mengingkari kemaksuman mereka dalam keadaan apa pun, sungguh ia telah menuduh mereka jahil. Siapa yang menuduh mereka jahil, sungguh ia telah kafir. Keyakinan kami terhadap mereka bahwa mereka maksum, memiliki sifat yang sempurna dan ilmu yang sempurna dari awal urusan mereka hingga akhirnya. Setiap keadaan mereka tidak memiliki sifat kekurangan, maksiat, dan tidak pula kejahilan’.” (al-I’tiqadat, hlm. 108—109, Ushul Madzhab Syiah, 780)

Mereka juga berkata, “Sesungguhnya para sahabat kami dari kalangan Syiah Imamiyah telah bersepakat bahwa para imam itu maksum dari berbagai dosa kecil ataupun besar, secara sengaja, keliru, ataupun lupa, sejak mereka lahir hingga bertemu Allah Subhanahu wata’ala.” (Biharul Anwar, 25/350—351)
Kesimpulan dari apa yang disebutkan di atas, bahwa:
  1. Yang dimaksud maksum menurut versi Syiah adalah tidak pernah berbuat dosa apa pun, kecil atau besar, bahkan tidak pernah keliru, lalai, dan lupa.
  2. Kemaksuman para imam adalah hal yang telah disepakati/ijma’ ulama.
  3. Siapa yang mengingkari kemaksuman para imam, dia kafir dan keluar dari Islam.
Anehnya, tatkala menafikan adanya sifat sahwu (lupa) dari para imam, mereka menetapkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengalami kelupaan. Mereka anggap pendapat yang mengingkari adanya sifat lupa dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai mazhab yang ghuluw dan melampaui batas. Al-Majlisi berkata dalam kitabnya, Man La Yahdhuruhul Faqih, “Sesungguhnya para ghulat (kelompok yang berlebihlebihan) dan ahli tafwidh—semoga Allah Subhanahu wata’ala melaknat mereka—mengingkari sifat lupa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Mereka berkata, ‘Seandainya bisa terjadi kelupaan di dalam shalat, bisa pula terjadi kelupaan dalam menyampaikan agama. Sebab, shalat adalah kewajiban sebagaimana halnya meyampaikan agama juga kewajiban… Lupanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sama dengan lupanya kita karena lupa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mberasal dari Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala yang menjadikannya lupa dalam rangka mengabarkan bahwa beliau adalah manusia biasa dan seorang makhluk, sehingga tidak dijadikan sebagai Rabb yang disembah selain-Nya.

Selain itu untuk menerangkan kepada manusia hukum sujud sahwi saat terjadi kelupaan. Adalah Syaikh kami, Muhammad bin al-Hasan bin Ahmad bin al-Walid berkata, ‘Tingkatan ghuluw yang pertama adalah mengingkari bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lupa. Aku mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wata’ala untuk menulis sebuah kitab khusus yang menetapkan sifat lupa bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan bantahan terhadap para pengingkarnya’.” (Man La Yahdhuruhul Faqih, 1/234)

Bahkan, ar-Ridha menetapkan bahwa sifat lupa dapat dialami oleh siapa saja, bahkan para imam mereka sekalipun. Ia berkata, “Sesungguhnya yang tidak pernah lupa hanyalah Allah Subhanahu wata’ala. Kitab kitab Syiah banyak meriwayatkan berita tentang lupanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat.” (Man La Yahdhuruhul Faqih, 1/233)

Oleh karena itu, dalam kitab-kitab Syiah sendiri banyak sekali dinukil bahwa para imam mereka mengalami kesalahan dan kelupaan.Di antara yang menunjukkan hal tersebut adalah yang disebutkan dalam kitab Nahjul Balaghah—salah satu kitab kebanggaan kaum Syiah—tentang doa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي فَإِنْ عُدْتُ فَعُدْ عَلَيَّ باِلْمَغْفِرَةِ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا وَأَيْتُ مِنْ نَفْسِي وَلَمْ تَجِدْ لَهُ وَفَاءً عِنْدِي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا تَقَرَّبْتُ بِهِ إِلَيْكَ بِلِسَانِي ثُمَّ خَالَفَ قَلْبِي، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي رَمَزَاتِ الْأَلْحَاظِ وَسَقَطَاتِ الْأَلْفَاظِ وَشَهَوَاتِ الْجِنَانِ وَهَفَوَاتِ اللِّسَان

“Ya Allah, ampunilah aku sesuatu yang Engkau lebih mengetahui dariku, dan jika aku mengulanginya, kembalilah kepadaku dengan ampunan-Mu. Ya Allah, ampunilah aku terhadap apa yang aku janjikan pada diriku lalu Engkau mendapatiku tidak menepatinya. Ya Allah, ampunilah aku terhadap sesuatu yang aku mendekatkan diri kepada-Mu dengan lisanku, tetapi hatiku menyelisihinya. Ya Allah, ampunilah aku dari cibiran mata (merendahkan atau mengolokolok, –pen.), dan ketergelinciran lafadz ucapan, syahwat hati, dan kekeliruan lisan.” (Nahjul Balaghah, hlm. 104)

Seandainya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dianggap sebagai imam yang maksum, lantas mengapa beliau berdoa memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wata’ala  dari segala dosa dan kesalahan, sebagaimana yang disebutkan oleh riwayat ini? Demikian pula, mereka meriwayatkan dari Abu Abdillah Ja’far ash-Shadiq bahwa beliau berkata,
إِنَّا لَنُذْنِبُ وَنَسِيءُ ثُمَّ نَتُوبُ إِلَى اللهِ مَتَابًا

“Sesungguhnya kami berbuat dosa dan keburukan, lalu kami bertobat kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan sebenar-benarnya.” (Biharul Anwar, 25/207)

Kaum Syiah juga meriwayatkan dari salah seorang imam mereka, Abul Hasan Musa al-Kazhim, ia berkata, “Wahai Rabbku, aku bermaksiat kepada-Mu dengan lisanku. Seandainya Engkau berkehendak, tentu Engkau telah menjadikanku bisu. Aku bermaksiat kepada-Mu dengan pandanganku, jika Engkau ingin, tentu Engkau telah menjadikanku buta. Aku telah bermaksiat kepada-Mu dengan pendengaranku,jika Engkau ingin, tentu Engkau telah menjadikanku tuli. Aku bermaksiat kepadamu dengan tanganku, jika Engkau ingin, tentu Engkau telah menjadikanku buntung. Aku telah bermaksiat kepada- Mu dengan kemaluanku, jika Engkau ingin, Engkau telah menjadikanku mandul. Aku bermaksiat kepada-Mu dengan kakiku, jika Engkau ingin, tentu Engkau telah menjadikanku lumpuh. Aku telah bermaksiat kepada-Mu dengan seluruh anggota tubuhku yang telah Engkau berikan kepadaku sebagai kenikmatan, dalam keadaan aku tidak mampu membalas-Mu.” (Biharul Anwar, 25/203)

Masih banyak riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab kaum Syiah sendiri yang menetapkan bahwa para imam pun tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, al-Majlisi bingung menyikapi masalah kemaksuman para imam ini karena banyak riwayat yang menunjukkan bahwa para imam mereka pun mengalami kelupaan dan kesalahan. Sementara itu, di sisi lain dia harus berhadapan dengan pernyataan para tokoh Syiah lainnya yang menganggap hal ini sebagai ijma’ dan mengafirkan orang yang mengingkari kemaksuman para imam. Ia berkata, “Masalah ini memang sangat rumit. Sebab, banyak riwayat dan ayat yang menunjukkan adanya kelupaan yang mereka (para imam, -pen.) alami, padahal para sahabat kami bersepakat—kecuali yang ganjil pendapatnya—tidak bolehnya hal tersebut terjadi pada mereka.” (Biharul Anwar, 25/351, Ushul Madzhab Syiah, 782)

Maksum Versi Ahlus Sunnah

Adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwa para Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terpelihara dan terjaga dalam menyampaikan wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala kepada umatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa mereka (para Nabi) adalah maksum (terpelihara) dalam hal yang mereka sampaikan dari Allah Subhanahu wata’ala. Tidak mungkin Allah Subhanahu wata’alamembiarkan mereka salah menyampaikan risalah dari-Nya. Dengan ini, tercapailah tujuan diutusnya (par rasul). Adapun sebelum diutus sebagai nabi tidak pernah bersalah atau berbuat dosa, tidak ada keharusan seperti itu dalam sifat kenabian.” (Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah, 2/395)

Syi’ah dan Imamah

Syi’ah dan Imamah


SYI’AH DAN IMAMAH
 
Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Keimaman dalam agama Syiah adalah prinsip yang paling utama. Seluruh keyakinan dan seluruh riwayat mereka kembali kepada masalah keimamahan ini. Masalah imamah (kepemimpinan) inilah yang menjadi inti ajaran dan asal muasal lahirnya pemikiran Syiah yang dibawa oleh Abdullah bin Saba’. Kitab-kitab Syiah mengakui bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang yang pertama memopulerkan keyakinan wajibnya meyakini kepemimpinan (keimamahan) Ali bin Abi Thalibradhiyallahu ‘anhu, menampakkan sikap berlepas diri dari musuh-musuhnya, dan menyingkap para penentangnya, serta mengafirkan mereka. (Rijal al-Kisysyi, hlm.108—109, al- Maqalat wal Firaq, hlm. 20 karya an Nubakhti, Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 654)
Itu pula yang ditetapkan oleh Ahlus Sunnah, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang pertama yang memunculkan pendapat tentang keimamahan Ali radhiyallahu ‘anhu. (al-Milal wa an-Nihal,1/174)

Menurut kaum Syiah, pengangkatan imam adalah janji yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wata’ala kepada mereka satu per satu. Dalam kitab al-Kafi disebutkan sebuah bab dengan judul “Imamah Adalah Janji dari Allah Subhanahu wata’ala yang Telah Ditetapkan dari Seseorang kepada yang Lain”. Ada juga bab “Nash yang Disebutkan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Terhadap Para Imam Satu Persatu”. (al-Kafi, 1/227 dan 1/286)

Salah seorang tokoh rujukan Syiah, Muhammad Husain Alu Kasyifil Ghitha, berkata, “Imamah adalah kedudukan ilahiah seperti halnya kenabian. Sebagaimana halnya Allah Subhanahu wata’ala memilih siapa yang Dia kehendaki dari parahamba-Nya menjadi nabi dan rasul, lalu menguatkannya dengan mukjizat sebagai pembuktian nash dari Allah Subhanahu wata’ala…, demikian pula Dia memilih siapa yang dikehendaki-Nya menjadi imam dan memerintah Nabi-Nya untuk menyebutkannya secara tegas, dan mengangkatnya sebagai pemimpin bagi umat manusia setelahnya.” (Ashlus Syiah wa Ushuluha, hlm. 58, Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 655)

Kedudukan Imamah dalam Agama Syiah

Di dalam agama Syiah, kedudukan imamah jauh lebih mulia dari kedudukan seorang nabi utusan Allah Subhanahu wata’ala. Inilah yang dijelaskan oleh para tokoh Syiah. Ni’matullah al-Jazairi berkata, “Keimamahan yang bersifat umum yang merupakan kedudukan di atas tingkatan kenabian dan kerasulan….” (Zahrur Rabi’, hlm. 12)

Hadi at-Taharani berkata, “Keimaman lebih agung daripada kenabian. Sebab, keimamahan adalah kedudukan ketiga yang Allah Subhanahu wata’ala memuliakan Ibrahim dengannya setelah kedudukan nabi dan khalil.” (Wadayi’ an-Nubuwah, hlm. 114)

Ia juga mengatakan, “Sesungguhnya yang paling agung dalam agama yang Allah Subhanahu wata’ala mengutus Nabi-Nya ini adalah masalah imamah.” (Wadayi’ an-Nubuwah, hlm. 115)

Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja’far, ia berkata, “Islam dibangun di atas lima hal: shalat, zakat, puasa, haji, dan keimaman (kepemimpinan). Tidak ada sesuatu yang lebih penting untuk didakwahkan selain kepemimpinan. Namun, manusia mengambil yang empat dan meninggalkan yang satu ini.” (Ushul al-Kafi, 2/18)

Perhatikanlah riwayat yang mereka sebutkan di atas… Mereka menjadikan masalah imamah sebagai pengganti dua kalimat syahadat!! Di samping itu, menjadikannya sebagai rukun Islam yang terpenting. Adakah kesesatan yang melebihi kesesatan mereka ini?

Berapa Jumlah Imam?

Kaum Syiah berselisih pendapat dalam menyebutkan jumlah imam mereka. Disebutkan dalam Mukhtashar at-Tuhfah, “Ketahuilah bahwa Imamiyah berpendapat bahwa jumlah imam itu terbatas, namun mereka berselisih tentang jumlahnya. Sebagian mengatakan lima, sebagian lagi mengatakan tujuh, sebagian lagi mengatakan delapan, sebagian lagi mengatakan dua belas, dan sebagian mengatakan tiga belas.” (Mukhtashar Tuhfah, hlm.193, Ushul Madzhab asy- Syiah, hlm. 666)

Kemudian terjadi kesepakatan bahwa jumlah imam terbatas menjadi dua belas, setelah meninggalnya al-Hasan al-Askari yang dianggap sebagai imam kesebelas. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Tidak ada seorang pun dari keturunan keluarga Nabi dari bani Hasyim,baik di masa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, maupun Ali Radhiyallahu ‘anhuma, yang berpendapat bahwa imam itu berjumlah dua belas.” (Minhajus Sunnah, 2/111) Beliau juga berkata, “Sebelum wafatnya al-Hasan (yakni al-Hasan bin Ali al-‘Askari yang dianggap sebagai imam kesebelas kaum Syiah), tidak seorang pun yang berpendapat imam muntazhar sebagai imam mereka yang kedua belas. Tidak ada seorang pun di zaman Ali dan zaman bani Umayyah yang menetapkan jumlah imam dua belas.” (Minhajus Sunnah, 4/209) Dua belas imam yang ditetapkan oleh kaum Syiah Imamiyah adalah:

  1. Ali bin Abi Thalib, Abul Hasan al-Murtadha
  2. Al-Hasan bin Ali, Abu Muhammad az-Zaki
  3. Al-Husain bin Ali, Abu Abdillah asy-Syahid
  4. Ali bin al-Husain Abu Muhammad, Zainul Abidin
  5. Muhammad bin Ali Abu Ja’far al-Baqir
  6. Ja’far bin Muhammad, Abu Abdillah ash-Shadiq
  7. Musa bin Ja’far Abu Ibrahim al-Kazhim
  8. Ali bin Musa Abul Hasan ar-Ridha
  9. Muhammad bin Ali, Abu Ja’far al-Jawad
  10. Ali bin Muhammad Abul Hasan al-Hadi
  11. Al-Hasan bin Ali, Abu Muhammad al-Askari
  12. Muhammad bin al-Hasan Abul Qasim al-Mahdi

Namun, disebutkan dalam kitab yang paling pertama yang tampak dari kalangan Syiah, yaitu kitab Salim bin Qais, dia justru menetapkan bahwa jumlah imam itu ada tiga belas. Bahkan, dalam sebagian riwayat kaum Syiah, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tidak masuk dalam daftar sebagai imam yang berjumlah dua belas. Dalam kitab yang paling sahih menurut versi Syiah, terdapat riwayat

yang menerangkan bahwa imam mereka berjumlah tiga belas. Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja’far, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya aku dan dua belas imam dari keturunanku. Adapun engkau, wahai Ali, adalah kancingnya bumi, yaitu sebagai pancang dan bukitnya. Dengan kami, Allah Subhanahu wata’ala mengokohkan bumi agar tidak lenyap bersama penghuninya. Jika dua belas dari keturunanku telah pergi, bumi ini akan lenyap beserta penghuninya dan mereka tidak memerhatikannya.” (Ushul al-Kafi, 1/534)

Demikian pula yang diriwayatkan dari Abu Ja’far, dari Jabir, ia berkata, “Aku masuk bertemu Fatimah. Di hadapannya ada lempengan yang di dalamnya bertuliskan nama-nama (imam) yang diberi wasiat dari keturunannya. Fatimah menghitungnya berjumlah dua belas. Yang terakhir adalah al-Qaim. Tiga di antara mereka bernama Muhammad, dan tiga di antara mereka bernama Ali.” (Ushul al-Kafi, 1/532)

Lihatlah, riwayat ini menyebutkan bahwa imam dua belas itu berasal dari keturunan Fatimah. Jadi, Ali bin Abi Thalib tidak termasuk dari kalangan imam mereka karena beliau adalah suami Fatimah, bukan anaknya. Adanya perselisihan penentuan jumlah imam, menunjukkan bahwa pembatasan dua belas imam tersebut sama sekali tidak dibangun di atas landasan yang jelas dari kitabullah atau sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas bagaimana bisa hal ini dianggap sebagai bagian rukun Islam, bahkan menggantikan posisi dua kalimat syahadat?

Bantahan Untuk Syubhat Batil Kaum Khawarij

Bantahan Untuk Syubhat Batil Kaum Khawarij


BANTAHAN UNTUK SYUBHAT BATIL KAUM KHAWARIJ

Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Bagaimana kita membantah orang yang berdalil bolehnya memberontak terhadap penguasa dengan alasan bahwa sebagian shahabat memberontak kepada khalifah (penguasa)?

Soal:
Ahsanallahu ilaikum (semoga Allah senantiasa berbuat baik kepada antum). Ini adalah pertanyaan keenam pada pelajaran ini. Penanya berkata, “Bagaimana kita membantah orang yang membolehkan untuk memberontak kepada penguasa dengan dalil bahwa Abdullah bin az-Zubair dan al-Hasan bin Ali -semoga Allah meridhai mereka- memberontak kepada khalifah?

Jawaban:
Pertama: Jangan kalian lupa terhadap apa yang telah saya sebutkan kepada kalian beberapa dalil,

((إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا))

“Jika para shahabatku disebut, tahanlah (diri-diri kalian, pen)”
Juga hadits,

لا تسبوا أصحابي

“Janganlah kalian mencela para shahabatku.”

Kedua: Tidak ada ucapan seorangpun yang (dikedepankan, pen) setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita menahan (diri-diri kita) untuk bertindak zhalim kepada kedua shahabat tersebut dan para shahabat yang lainnya. Kewajiban kita semua adalah mendengar dan taat kepada wali amr (pimpinan) kaum muslimin.

Alihbahasa; Ustadz Abu Bakar Jombang حفظه الله

Sumber : http://ar.miraath.net/fatwah/10431


BANTAHAN UNTUK SYUBHAT BATIL KAUM KHAWARIJ
Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله


Download Audio

Rabu, 02 September 2015

Bantahan Terhadap Pihak Yang Menyamakan Antara: Watsiqoh Muhammad Al Imam dengan Fitnah Pemaksaan Keyakinan Bahwa Al-Qur’an Adalah Makhluq

Bantahan Terhadap Pihak Yang Menyamakan Antara: Watsiqoh Muhammad Al Imam dengan Fitnah Pemaksaan Keyakinan Bahwa Al-Qur’an Adalah Makhluq


BANTAHAN TERHADAP PIHAK YANG MENYAMAKAN antara: WATSIQAH MUHAMMAD AL-IMAM, dengan FITNAH PEMAKSAAN KEYAKINAN BAHWA AL-QUR’AN ADALAH MAKHLUQ (pada masa al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah)
 
Asy-Syaikh Abul Abbas Yasin bin Ali Al-Adny hafizhahullah

بسم الله الرحمن الرحيم، والحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن والاه. أما بعد:

Telah muncul kekacauan yang aneh, perkara yang membingungkan, dan kerancuan yang mengherankan dari sebagian orang –semoga Allah memberikan taufiq kepada kita dan mereka– yaitu berkaitan dengan “Watsiqah” (Surat Perjanjian Damai) yang ditandatangani oleh Muhammad Al-Imam bersama kaum Rafidhah yang jahat dan hina. Watsiqah tersebut telah membuka fitnah yang besar terhadap Dakwah Salafiyah.

Maka saya ingin mengingatkan orang-orang itu dan melenyapkan kerancuan yang tiba-tiba saja muncul dari mereka ini.

Dengan hanya memohon pertolongan kepada Allah saja demi meraih tujuan yang diharapkan, maka saya katakan:

Sesungguhnya memahami perbedaan-perbedaan dalam banyak hal, termasuk ilmu yang bermanfaat. Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah di dalam Al-Qawaid Al-Mutsla hal. 187:

فتنبَّهْ للفَرق؛ فإن التنبَّه للفروق بين المتشابهات من أجود أنواع العلم، وبه يزول كثير من الإشكالات.

“Maka hendaknya engkau benar-benar memperhatikan berbagai perbedaan dengan seksama, karena memperhatikan berbagai perbedaan di antara perkara-perkara yang serupa termasuk jenis ilmu yang PALING BAGUS, dan dengannya akan hilanglah berbagai kesalahpahaman.”

Perbedaan antara Watsiqah Muhammad Al-Imam dengan fitnah pemaksaan keyakinan bahwa al-qur’an adalah makhluq, dari dua sisi:

Pertama: Pihak yang melakukan memaksakan keyakinan al-Qur’an makhluq, adalah pihak penguasa (Al-Ma’mun), sehingga para ulama tidak mampu untuk lari darinya, karena semua negeri-negeri kaum Muslimin di bawah kekuasaannya. Bahkan ketika itu Al-Ma’mun memerintahkan para bawahannya agar “menguji” para ulama (apakah mau menerima doktrin tersebuat atau tidak, pen).

As-Suyuthy berkata dalam Tarikh al-Khulafa’ hal. 227: “Dia (Al-Ma’mun –pent) menulis sebuah surat kepada bawahannya di Baghdad –yaitu Ishaq bin Ibrahim Al-Khuza’iy– agar “menguji” para ulama, di dalam surat tersebut dia mengatakan…”

Adapun Muhammad Al-Imam maka sesungguhnya orang-orang yang dia menandatangani Watsiqah tersebut bersama mereka, bukanlah penguasa dan dia (al-Imam, pen) bisa lari dari mereka ke tempat yang aman.

Bahkan Abu Malik Ar-Riyasy telah mengabarkan kepada saya bahwa Muhammad Al-Imam mengabarkan kepadanya ketika dia pulang dari haji, dengan mengatakan : “SESUNGGUHNYA ASY-SYAIKH RABI’ MENYURUH SAYA AGAR KELUAR MENINGGALKAN MA’BAR.”

Kedua: Orang-orang yang memenuhi keinginan Al-Ma’mun dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq, mereka melakukan hal itu hanyalah karena takut akan dibunuh.

Adz-Dzahaby berkata dalam Tarikhul Islam (XV/21, tahqiq Dr. Umar Tadmury –pent): “Ketika itu Yahya bin Ma’in dan selainnya mengatakan: “Kami terpaksa memenuhinya karena takut terhadap pedang.”

Ash-Shafady berkata dalam Al-Wafy bil Wafayat, XXI/126: “Al-Farahayany dan selainnya mengatakan: ‘Orang yang paling mengetahui ilal (ilmu tentang cacat hadits –pent) di masanya adalah Ali Ibnul Madiny, dan yang nampak bahwasanya dia memenuhi ajakan untuk mengucapkan keyakinan Ibnu Abi Du-ad, karena takut terhadap pedang.”

Adapun Muhammad Al-Imam maka di sana tidak ada perkara yang sifatnya terpaksa yang mendorongnya untuk menandatangani watsiqah tersebut, hal itu sebagaimana yang dia nyatakan secara terang-terangan pada khutbah Ied. Hanya saja kaum itu bersahabat.

Dan saudara kami Shalah Kantusy telah mengabarkan kepada saya bahwa ketika dia pergi ke Mafraq Hubaisy, Syaikh Abdul Aziz Al-Bura’iy berkata kepadanya:

إن الإمام لم يترك لنا سبيلا من أجل أن ندافع عنه.

“Sesungguhnya Al-Imam tidak meninggalkan untuk kita sebuah jalan pun untuk membelanya.” (yakni tidak tersisa alasan apapun untuk bisa membela al-Imam, pen)

Bahkan Abdurrahman Mar’iy telah mengabarkan kepada saya –hal itu disaksikan oleh beberapa orang yang lain– bahwa asy-Syaikh Abdul Aziz Al-Bura’iy hampir saja menulis bantahan terhadap Al-Imam, kalau saja masayikh yang lain tidak mengatakan kepadanya: “Yang afdhal kita keluarkan penjelasan yang sifatnya umum.”

Mungkin saja ada yang mengatakan bahwa keterpaksaan yang mendorong Muhammad Al-Imam adalah khawatir Ditutupnya markiz Ma’bar.

Saya katakan: Apakah jika markiz Ma’bar ditutup berarti Dakwah Salafiyah akan lenyap?!

Bahkan saya katakan: Kalian tidak tahu barangkali penutupan markiz Ma’bar padanya terdapat kebaikan, hal itu karena para thullab Ma’bar bisa menyebar di seluruh pelosok negeri Yaman untuk mendakwahkan agama Allah, sehingga dakwah pun tersebar dan sulit bagi Rafidhah untuk mengikuti ke mana saja mereka dan menguntit mereka.

Demikian juga dengan Muhammad Al-Imam, sungguh bisa jadi dia lebih memiliki waktu yang luang untuk ilmu.

Perhatikanlah berbagai warisan atau peninggalan dari Asy-Syaikh Al-Albany berupa tulisan maupun audio yang menyebar di belahan bumi barat dan timur serta utara dan selatan! Apakah beliau memiliki markiz?!

Saya memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala untuk bisa meraih kebaikan yang kita inginkan, dan penjagaan dari kesalahan dan ketergelinciran padanya. Sesungguhnya Dia mampu dan Maha Kuasa atasnya.

Ditulis oleh: Abul Abbas Yasin bin Ali Al-Adny
Aden – Yaman
Malam Ahad, 29 Shafar 1439 H


WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia

Selasa, 01 September 2015

Kedudukan Asy-Syaikh Rabi’ Hafizhahullah Ta’ala Disisi Para Ulama

Kedudukan Asy-Syaikh Rabi’ Hafizhahullah Ta’ala Disisi Para Ulama


KEDUDUKAN ASY-SYAIKH RABI’ HAFIZHAHULLAH TA’ALA DI SISI PARA ULAMA

Ditulis oleh; Al-Ustadz Abu Umar Ibrahim Hafizhahullah
Syaikhuna Abul ‘Abbas Yasin al-‘Adeny hafizhahullah Ta’ala berkata ketika menjelaskan sebuah lafadz yang dipakai oleh ahlul kalam,
“Merupakan perkara yang sudah diketahui, bahwa manusia yang paling berilmu tentang berbagai istilah (bid’ah dan sesat) dalam ilmu kalam, filsafat, dan mantiq adalah ahlus sunnah wal jama’ah.
Akan tetapi, siapakah ulama yang paling berilmu tentang istilah-istilah tersebut?
Beliau adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala. Maka, semestinya seorang sunni mengetahui kedudukan tokoh ulama besar ini.
Beliaulah yang meneliti lafadz-lafadz tersebut, mengetahui makna-maknanya, dan menerangkan kepada manusia (tentang kebatilannya), sehingga mereka bisa berjalan (dengan bimbingan ilmu) di atas petunjuk dan al-haq.
Dan dengannya pula mereka bisa mengetahui kebatilan (yang ada padanya), sehingga mereka bisa menjauhinya.
Demikianlah Allah memberikan anugerah kepada kita dengan keberadaan para ulama yang selalu menerangkan al-haq kepada manusia, sehingga mereka bisa berjalan di atasnya, dan menerangkan kebatilan sehingga mereka pun bisa menjauhinya.
Dan kita -alhamdulillah- di masa ini, diberikan kenikmatan dengan keberadaan para ulama yang menerangkan kepada manusia berbagai lafadz-lafadz bid’ah yang  dilontarkan oleh Ikhwanul Muslimin, Hasaniyyun, Ashabul Jam’iyyat, Hajuriyyun, dan seluruh ahli bid’ah.
Dan manusia yang paling berilmu dengan berbagai istilah dan lafadz-lafadz yang dipakai oleh ahlul bid’ah di masa kita ini adalah ASY-SYAIKH RABI’ hafizhahullah Ta’ala.
Beliau adalah manusia yang paling memahami dan mengilmui tentang berbagai lafadz-lafadz dan istilah-istilah yang dipakai oleh ahlul bid’ah.
Dan sebagaimana yang diucapkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah Ta’ala, dan ini adalah faedah yang semestinya ditulis.
ASY-SYAIKH AL-ALBANI BERKATA:  “AKU TELAH MEMBACA KITAB-KITAB ASY-SYAIKH RABI’, DAN AKU TIDAK MENDAPATI SATU KESALAHAN PUN PADANYA.”
Ucapan kami yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam adalah manusia yang paling mengetahui tentang berbagai istilah tersebut, dan berbagai lafadz dalam ilmu kalam, filsafat, dan mantiq, bukan bermakna bahwa tidak ada ulama lain yang mengetahui tentang hal itu. Bahkan, didapati dari kalangan ulama seperti Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, adz-Dzahabi, dan selain mereka dari kalangan ulama yang mengetahui tentang hal itu.
Begitu pula, kalau kita mengatakan bahwa Asy-Syaikh Rabi’ adalah manusia yang paling mengetahui tentang firqah-firqah sesat, bukan bermakna bahwa tidak ada ulama lain yang berbicara tentang ahlul bid’ah. Bahkan -alhamdulillah- bersama kita terdapat banyak ulama yang berbicara tentang mereka, seperti: Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, Asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri; demikian pula di negeri Yaman, seperti: Asy-Syaikh al-Wushabi, Asy-Syaikh al-Bura’i, Asy-Syaikh al-Imam, dan selain mereka. Mereka semua berbicara tentang ahlul bid’ah, menyingkap dan membongkar kedok mereka.
Akan tetapi, apabila dikatakan bahwa manusia yang paling berilmu (tentang suatu perkara) adalah ulama Fulan,  bukan bermakna bahwa hal itu menafikan keilmuan/pengetahuan ulama yang lain.
Maka, sungguh kita bergembira dengan nikmat yang agung ini.
Kita memuji Allah atas anugerah nikmat yang sangat besar ini, yakni nikmat berupa keberadaan para ulama yang selalu menerangkan al-haq kepada manusia, memerintahkan mereka dengannya, dan menjauhkan umat dari berbagai kebatilan.”
Wallahu a’lam bish shawab.
Fawaid dari dars Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal 1435 H/13 Januari 2014, oleh Syaikhuna Abul ‘Abbas Yasin al-‘Adeny hafizhahullah Ta’ala di Markiz Daril Hadits al-Fiyush.
Semoga Allah Ta’ala selalu menjaganya dari segala makar, dan keburukan.